Beranda | Artikel
Tabungan di Bank Syariah Bukan Wadiah
Kamis, 1 September 2016

Tabungan di Bank Syariah Bukan Wadiah

Bank syariah menyebut tabungan yang disetorkan nasabah sebagai wadiah. Namun konsekuensi akad tabungan di bank sama sekali tidak sesuai dengan konsep wadiah menurut aturan syariat. Para ulama menyimpulkan, tabungan di bank adalah utang.

Oleh Ustad Kholid Syamhudi, Lc.

Kita awali kajian ini dengan menyoal hakikat menabung di bank, lalu kita bahas hukum syariatnya.

Menabung atau Memberi Utang?

Penabung di bank baik konvensional maupun syariah mengenal istilah rekening bank. Rekening adalah daftar catatan muamalat (transaksi) antara nasabah dan bank (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya Husain Kamil, majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami No. 9 juz 1 hal. 689). Rekening ini dinamakan dalam bahasa Arab dengan al-hisab al-jari (perhitungan yang berjalan), atau dalam bahasa kita dikenal dengan account. Dinamakan al-hisab al-jari karena terus bergerak, bertambah atau berkurang (lihat Bunuk Tijariyah bila Riba, hal. 74).

Sementara simpanan rekening bank, inilah tema yang kita kaji, didefinisikan dengan “uang yang dititipkan oleh pemiliknya di sebuah bank, dan bank siap membayarkan kepada pemiliknya kapan pun dia mengambilnya”(lihat Mu’jam al-Mushthalahat at-Tijariyah wal Maliyah wal Mashrafiyah, hal. 269; al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani, hal. 70; Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah karya Qadhi al-Utsmani, hal. 350).

Berdasarkan penjelasan tersebut, menabung di bank memiliki dua hal penting. Pertama, bank memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak untuk mengembangkannya, serta mengikat dirinya untuk bersedia mengembalikan uang yang ketika diambil pemiliknya. Dan kedua, bank mengharuskan dirinya untuk mengembalikan dana tersebut apa pun risikonya, sehingga bank bertanggung jawab terhadap semua bentuk kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Majma’ al-Fiqh al-Islami di bawah Liga Muslim Dunia memberikan keputusan No. 86, 3/9  tentang tabungan sebagai berikut: “Tabungan bank, baik di bank Islam maupun bank konvensional, adalah utang dari sudut pandang fikih. Bank penerima tabungan adalah pihak yang bertanggung jawab dan secara sah mengharuskan dirinya untuk mengembalikannya kepada penabung saat dia menariknya dan keadaan bank (debitur) yang kaya tidak mempengaruhi hukum utang.”

Keputusan tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama, bank memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak untuk beraktivitas dengan dana yang dia kumpulkan, serta mengikat dirinya untuk mengembalikan uang yang senilai  saat pemiliknya menariknya. Status tabungan ini semakna dengan utang, sekalipun dinamakan titipan (tabungan). Namun penamaan ini tidak sesuai dengan hakikat secara syar’i.

Karena jika disebut titipan (baca: wadiah), bank tidak berhak menggunakan dana tersebut. Titipan berpijak kepada prinsip penjagaan dan harus dikembalikan barangnya apa adanya (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani, hal. 103 )

Sebagian orang menyanggahnya, bahwa tindakan bank terhadap dana tabungan berpijak kepada izin nasabah, karena demikianlah yang umumnya berlaku di masyarakat kita. Tentunya ini tidak mengeluarkan titipan dari maknanya, selama masih ada unsur penjagaan dengan tetap mengembalikan yang semisal (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 234).

Bantahan: Sanggahan di atas tidak bisa diterima. Aktivitas bank terhadap tabungan nasabah telah mengeluarkannya dari statusnya dari hukum titipan (wadiah), sekalipun dengan izin pemiliknya. Jika bentuk aktivitasnya dengan mengambil manfaat dan barangnya masih utuh, maka ia adalah pinjaman (’Aariyah). Namun bila yang memegang titipan menggunakannya sampai habis, seperti dana tabungan, maka statusnya adalah utang yang wajib diganti.

Kedua, bank mengharuskan dirinya mengembalikan dana yang semisal pada saat penabung menariknya, dan bank bertanggung jawab atas segala risiko terhadap tabungan nasabah, baik karena kelalaian bank atau tidak. Fenomena ini jelas merupakan konsekuensi akad utang-piutang. Lain halnya dengan titipan. Barang titipan harus dikembalikan sebagaimana apa adanya dan penerimanya tidak bertanggung jawab terhadap segala risiko, kecuali bila dia melakukan pelanggaran padanya atau melalaikannya (lihat ar-Riba wal-Muamalat al-Mashrafiyah, hal. 347; dan Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah, hal. 253).

Alasan tersebut disanggah. Keharusan bank mengembalikan saat terjadi kehilangan sekalipun bank tidak melakukan tindak pelanggaran padanya atau lalai hanyalah berlaku sesuai dengan kebiasan transaksi perbankan. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan aturan titipan syar’i (wadiah), yang merupakan amanat yang tidak mendapat jaminan keamanan, selama  tidak terjadi pelanggaran atau kelalaian (lihat al-Masharif al-Islamiyah karya al-Haiti, hal. 264).

Bantahan: Sanggahan di atas dijawab, hakikat-hakikat syar’i tidak patut dibenturkan dengan kebiasaan perbankan dan hakikat tersebut tidak berubah karenanya. Terjadinya hal itu hanyalah disebabkan opini bahwa uang-uang tersebut adalah titipan (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah, hal. 101).

Ada sebagian yang menyelisihi keterangan di atas dengan dasar beberapa argumen.

Pertama, rekening tersebut berada dalam kewenangan nasabah. Dia bisa menarik dana secara keseluruhan kapan pun diinginkan, tanpa terhambat syarat apa pun. Inilah makna titipan (wadiah). (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233)..

Bantahan:  Maksud titipan adalah mengembalikannya saat diminta pemiliknya. Juga agar orang yang dititipi, tidak melakukan aktivitas terhadap barang yang dititipkan. Sementara itu bank bisa beraktivitas terhadap dana nasabah dan mengembalikan gantinya. Ini sama persis dengan utang (lihat al-Manfa’ah wal Qardh, hal. 304).

Kedua, tujuan penabung bukan meminjamkan uangnya kepada bank. Juga tidak bermaksud melakukan kongsi dengan bank untuk mencari keuntungan. Namun hanya ingin menyimpan uangnya di bank agar bank menjaganya. Selama penabung tidak bermaksud mengutangkan, tidak patut disebut utang (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233).

Bantahan:  Alasan tersebut disanggah. Keadaan penabung yang tidak bermaksud memberi utang kepada bank tidak mempengaruhi hakikat transaksi. Karena kebanyakan penabung tidak peduli beda makna utang dan titipan, dan bagi mereka, terminologi itu tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah hasil riil. Nasabah tidak akan bersedia menabung jika tanpa ada jaminan dan tanggung jawab terhadap segala risiko. Adanya jaminan dan tanggung jawab terhadap segala risiko itu berlaku untuk utang bukan titipan. Sementara itu pihak bank tidak menerima tabungan kecuali dengan tujuan memutar dana tersebut. Inilah utang yang sejatinya, sehingga terbukti bahwa tujuan mereka adalah memberi utang, bukan menitipkan, sebagaimana yang dikupas dalam tinjauan fikih. Dalam akad yang dilihat adalah hakikatnya, bukan namanya (lihat Ahkam al-Wada`i’ al-Mashrafiyah dalam Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah, hal. 253).

Ketiga, bank tidak menerima uang tabungan sebagai utang-piutang. Tetapi sebagai titipan. Buktinya, bank memungut biaya administrasi atas penjagaannya terhadap uang tersebut dengan tetap sangat berhati-hati beraktivitas terhadap harta dan mengembalikannya dengan segera saat pemiliknya memintanya (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233).

Bantahan: Alasan tersebut tidak bisa diterima, karena bank memungut biaya demi pelayanan yang diberikan kepada penabung seperti menerbitkan daftar cek, kartu ATM dan sebagainya. Bukan demi penjagaan yang diberikan bank. Sementara pernyataan bahwa bank menggunakan dana tersebut dengan sangat hati-hati, tidak bisa diterima. Karena bank mencampur uang nasabah dan menggunakannya seolah-olah pemilik yang sebenarnya.

Kalaupun kita bisa menerima alasan bank bertindak ekstra hati-hati, hal itu karena pertimbangan sisi-sisi kerugiannya. Ada pun alasan bank mengembalikannya dengan segera, hal itu berpijak kepada kebiasaan akad di antara kedua belah pihak, serta demi menjaga kepercayaan masyarakat serta menarik minat pemilik uang untuk menabung di bank (lihat al-Manfa’ah wal Qardh, hal. 305).

Kemudian nasabah berhak menuntut ganti utang (uang yang dia pinjamkan ke bank) saat itu juga. Karena memang dalam tanggungan bank saat itu juga, dia berhak menagihnya. Sebagaimana utang yang sudah jatuh tempo. Selain itu permintaannya merupakan sebab yang mewajibkan bank mengembalikan semisalnya atau seharga dengannya, maka ia menjadi kontan saat itu juga (lihat Bada`i’ ash-Shana`i’ 7/396 dan Aqd al-Qardh fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad, hal. 61).

Kesimpulan: pendapat yang kuat berdasarkan sudut pandang fikih menyatakan tabungan bank adalah utang, bukan titipan (wadiah). Hal ini karena dua alas an:

Pertama, hakikat syar’i uang sejalan dengan definisi utang: “Menyerahkan uang kepada orang lain untuk dimanfaatkan dan mengembalikan gantinya” (lihat Radd al-Muhtar 5/161, Bulghah as-Salik 3/290, dan Mughni al-Muhtaj 3/29).

Kedua, tanggung jawab menjamin secara mutlak, baik karena kelalaian bank atau di luar itu. Aturan ini sejalan dengan akad utang-piutang. Berbeda dengan titipan yang berpijak pada prinsip penerimanya orang yang dipercaya, sehingga dia tidak bertanggung jawab kecuali bila melanggar atau lalai (lihat Bada`i’aash-Shana`i’ 6/211, at-Taj wal Iklil 7/268, dan Aqd al-Wadi’ah fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad, hal. 61).

Apabila jelas hakikat menabung adalah memberikan utang kepada pihak bank, maka diharamkan adanya profit keuntungan atas tabungan tersebut, karena itu adalah riba. Demikian juga, layakkah pihak bank mengambil biaya administrasi atas tabungan yang pada hakikatnya utang-piutang? Masihkah ingin menabung dengan membayar administrasi dan mengambil keuntungan darinya?*

Resume:

  1. Tiga catatan penting terkait hakikat tabungan di bank:
  2. Bank berhak memanfaatkan dana yang dikumpulkan nasabah sesuai kebutuhan bank.
  3. Bank siap untuk mengembalikan dana tersebut, kapan pun yang diinginkan nasbah.
  4. Bank Menanggung segala risiko yang terjadi terhadap tabungan nasabah, baik karena keteledoran bank atau di luar itu.
  5. Para ulama menyimpulkan bahwa tabungan dengan tiga karakter di atas, hakikatnya adalah transaksi utang, di mana nasabah memberi pinjaman (utang) kepada bank.
  6. Sebagian kalangan menyebut tabungan di bank sebagai wadiah. Pernyataan ini tidak bisa diterima, karena beberapa alasan:
  7. Dalam akad wadiah, pihak yang dititipi tidak berhak memanfaatkan barang yang dititipkan. Padahal dana nasabah, sepenuhnya dimanfaatkan bank
  8. Dalam akad wadiah, pihak yang dititipi tidak menanggung risiko yang menimpa barang titipan, karena statusnya murni amanah. Sementara dalam transaksi tabungan,         bank mendedikasikan dirinya untuk menanggung segala risiko terhadap dana yang           disimpan di bank.
  9. Para ulama mendefinisikan mengutangi sebagai: menyerahkan uang kepada orang lain untuk dimanfaatkan dan wajib mengembalikan gantinya.

PengusahaMuslim.com  .

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5895-tabungan-di-bank-syariah-bukan-wadiah.html